"Aku tahu, aku hanyalah rengginang dalam kaleng Khong Guan. 
Aku hanyalah cadangan saat kamu ditinggalkan. 
Tapi biarkanlah aku seperti itu, 
yang selalu ada saat kamu tak punya siapa-siapa. 
Lalu akan dilupa saat kamu punya yang istimewa.
...
Aku tak akan meninggalkanmu sendiri di dalam sunyi. 
Aku tak akan membiarkanmu ditelan frustasi. 
Cukup aku yang merasakan sakitnya dihantam sepi. 
Aku akan selalu ada di sini:
menjadi rengginang dalam kaleng Khong Guan."


Puisi curhatan di atas adalah tulisan karya wimkavirya yang saya kutip dari laman kompasiana.com. Sebuah ungkapan kegetiran, yang disembunyikan di bawah atap ketegaran. Kerapuhan pada sebuah harapan, karena hanya dianggap sebagai pemain cadangan. Nggak penting. Pelengkap penderita. Sudah bernasib sebagai pelengkap, menderita lagi..

Mungkin ada di antara Anda yang mengalami nasib semacam itu? Juga menjadi remah-remah rengginang di dasar kaleng Kong Guan?? Hmm.. ayok sini, kita nangis bareng-bareng. Hehe..

Term “Aku hanyalah remah-remah rengginang di dasar kaleng Khong Guan” memang istilah yang dipandang sangat mewakili keambyaran hati seseorang. Penggambaran kondisi seseorang yang hanya diperhatikan di saat semua berakhir dalam kekecewaan. Cuma dipilih (itupun dengan setengah hati), saat yang lain sudah jelas-jelas nggak bisa memberi harapan lagi. Itulah sosok remah-remah rengginang di dasar kaleng Khong Guan.  

Bicara tentang Khong Guan, filosofi atas eksistensi kaleng berwarna merah ini, jika dikulik lebih dalam ternyata juga bisa menjadi alat inspirasi yang tak pernah habis buat digali. Seperti yang dilakukan oleh sastrawan Joko Pinurbo. Yang menulis buku antologi puisi khusus bertajuk Perjamuan Khong Guan. Yang tentu saja ada juga secuil kata rengginang di sana. 

Di kaleng Khong Guan
hidup yang keras dan getir
terasa renyah seperti rengginang

Berkerudungkan langit biru,
ibu yang hatinya kokoh 
membelah dan memotong-motong bulan
dan memberikannya
kepada anak-anaknya yang ngowoh.

Anak-anak gelisah
sebab ayah mereka
tak kunjung pulang.
“Ayahmu dipinjam negara.
Entah kapan akan dikembalikan,”
si ibu menjelaskan.

Lalu mereka selfi di depan
meja makan: “Mari kita berbahagia.”

Si ayah ternyata sedang ngumpet
menghabiskan remah rengginang.

(2019) 


Saya memaknai puisi ini sebagai penggambaran begitu beratnya tugas seorang ibu di rumah. Ia harus membereskan urusan rumah tangga sendirian. Pun juga ia harus menjaga, mendidik dan mengasuh anak-anaknya dengan berbagai tugas berat yang seperti tiada habis-habisnya. Tapi mereka masih bisa menghadapinya dengan ceria. Sedangkan sang ayah, yang katanya sedang sibuk bekerja mencari nafkah, malah nggak mau tau dengan urusan rumah. Justru sembunyi dari kenyataan, pergi entah ke mana demi menikmati gurihnya kehidupan.

Ada pula puisi lainnya yang saya suka dalam antologi ini. Selain puisi yang berjudul Perjamuan Khong Guan yang juga dipilih sebagai tajuk bukunya, Joko Pinurbo juga membuat tulisan yang berjudul Anak Khong Guan. Yang menurut saya cukup keren menyentil kondisi sosial masyarakat kita saat ini. 

Di dalam kaleng Khong Guan
yang bertahun-tahun tersimpan
di lemari perpustakaan
telah lahir kaleng Khong Guan kecil
bergambar dua orang bocah
sedang berebut ponsel
di meja makan yang acak-acakan.
(2019)

Bagi saya, puisi ini dengan satire sukses menangkap kegelisahan para orang tua. Yang tradisi intelektualitas serta kemuliaan akhlak yang dibiasakan di rumah, saat ini rusak direnggut oleh modernitas. Kebiasaan mereka yang merutinkan anak-anaknya membaca buku di perpustakaan keluarga, serta meninggikan sopan santun sebagai akar kebaikan, nyatanya telah dikalahkan oleh keberadaan smartphone. Ketinggian adab dalam bersantap bersama keluarga yang telah ditinggalkan ini, terwakili oleh diksi "di meja makan yang acak-acakan."

Kembali ke masalah remah-remah rengginang di dasar kaleng Khong Guan. 
Sebelum meneruskan tulisan, saya mau nanya dulu nih. Sebenarnya Anda sudah tahu belum rengginang itu apaan? 

Oke, saya bantu ngutip dari wikipedia.org ya?
Rengginang atau rangginang adalah sejenis kerupuk tebal yang terbuat dari beras ketan. Bentuknya bulat. Sebelum digoreng makanan ini dikeringkan dahulu dengan cara dijemur di bawah panas matahari. Lalu digoreng dalam minyak goreng yang panas dan dalam jumlah yang banyak. Agak berbeda dari jenis kerupuk lain yang umumnya terbuat dari adonan bahan yang sudah dihaluskan, seperti misalnya tepung tapioka, bahan pembuat rangginang ini tidak dihancurkan. Sehingga bentuk butiran ketannya masih tampak terasa. 

Berbeda dengan penganan lain yang biasanya memiliki nama yang berlainan untuk wilayah yang berbeda, setahu saya rangginang ini dari ujung barat Jawa sampai ujung timurnya memiliki nama yang sama. Perbedaan sepertinya hanya di bagian akhir kata. Ada yang menamakan rengginang, ada juga yang menamakannya rengginan.

Tak ada yang tahu dengan pasti kapan dan dimana Rengginang pertamakali dibuat. Ada sebuah pendapat bahwa rengginang berasal dari sisa-sisa pembuatan tape ketan. Ceritanya begini. Suatu saat orang-orang yang memproduksi tape ketan kebingunangn karena raginya habis, sedangkan beras ketannya masih tersisa banyak. Sisa-sisa ketan ini kemudian dijemur. Setelah ketannya kering, mereka lalu menggorengnya. Kok rasanya nikmat. Kriuk-kriuk renyah gitu. Lalu produksinya kemudian disempurnakan dengan menambah sedikit garam. Ada yang melengkapi dengan pemanis, diperkaya dengan siraman air terasi seperti yang biasa diproduksi di beberapa daerah di Jawa Barat. Atau dengan memberi taburan lorjuk yang lazim diproduksi di daerah Madura. Buat saya, rengginan lorjuk ini makanan favorit banget deh...!!

Saat saya kecil, saya biasa menginap di rumah nenek. Kadang pulang ke rumah hanya untuk mengambil baju ganti saja. Malam harinya, saya sering menghabiskan waktu dengan membantu nenek bikin Rengginang. Biasanya proses pembuatannya dimulai sehabis ashar. Nenek memulainya dengan memasak atau istilahnya "adang ketan" terlebih dahulu. Proses ini kira-kira akan selesai sekitar Maghrib. Usai sholat dan belajar sebentar, masih dengan sarung diselempangkan di badan, saya sudah nongkrong di samping "anjang". Yaitu papan selebar kurang lebih 1,5 meter x 2 meter berbahan anyaman bilah-bilah bambu yang nantinya akan dibuat sebagai tempat menjemur ketan. 

Saya dan beberapa saudara kemudian memotong-motong gundukan ketan yang sudah matang menjadi cuilan-cuilan yang lebih kecil. Lalu memasukkannya ke dalam cetakan, yang terbuat dari tutup sabun cuci merek B29, yang sudah dibolongi bagian atasnya. Cetakan beserta ketannya kami letakkan di atas sebuah papan. Kemudian menggencetnya pelan, lalu menaruh di atas anjang. Pagi harinya, sebelum nenek berangkat ke pasar, anjang-anjang yang sudah penuh terisi akan dijemur berjajar di sekitar rumah. Setelah kering, Rengginang kemudian dimasukkan ke dalam kantong-kantong plastik bening untuk dijual di pasar.

Suatu saat saya pernah bertanya kepada nenek. Siapa yang bikin rangginang pertama kali. Pertanyaan sederhana yang sukses bikin pusing kepala nenek. Kurang lebih jawaban beliau adalah, "Mbuh le, aneh2 wae pitakonmu..!" 

Memang sampai saat ini, belum ada literatur resmi yang menjelaskan asal mula rangginang. Banyak yang nge-klaim kota mereka sebagai asal mula keberadaan rangginang. Dua di antaranya adalah Magelang yang memiliki produk legendaris yaitu Rengginang Rengganis, serta Kabupaten Karawang yang produksinya berpusat di daerah Cibuaya, Rawagede dan Banyusari. 

Kalau layanan Aqiqah Siap Saji yang legendaris di Indonesia tentu saja Aqiqah Nurul Hayat. Di Karawang, Aqiqah Karawang Nurul Hayat sendiri membuka layanan di alamat: Jl. Arief Rahman Hakim No.17, Kel, Karawang Kulon, Kec. Karawang Barat, Kabupaten Karawang, Jawa Barat 41311 Telepon: 0823-2222-8843

Aqiqah Murah Karawang, layanannya profesional. Buktinya banyak artis yang sudah mempercayakan pelaksanaan aqiqahnya melalui Aqiqah Karawang Nurul Hayat. Untuk Kambing Aqiqah, jangan khawatir. Dijamin kesyar'ie-annya.